Dalam perjalanan Hongkong- Shenzhen beberapa hari yang lalu, pemandu wisata yang bernama Asiang, entah dari mana asal mulai ceritanya berkomentar bahwa di kota Shenzhen ini tidak ada orang gemuk. Seorang yang diperkenalkan sebagai Profesor waktu mengunjungi toko obat tradisionil Cina juga mengungkapkan hal yang sama.
Teman satu grup perjalanan saya yang memang orangnya gemuk, entah merasa tersinggung, atau memang ingin tahu rahasianya, mungkin juga supaya bisa tidak gemuk, bertanya, “kok bisa ya? Apa sebabnya ?” Asiong, pemadu wisata yang sudah bermukim di Shenzen selama 15 tahun itu, menjawab, “orang di sini punya kebiasaan minum teh, jarang makan daging, banyak makan sayur, buah-buahan dan suka berjalan. Dan, orang gemuk sulit mendapatkan perkerjaan, satu lagi katanya, orang di sini takut sakit dan mati lebih awal, karena orang tuanya hanya punya satu anak, kalau dia meninggal siapa yang akan merawat mereka”.
“Benar juga jawaban Asiang ini, masuk akal”, komentar saya dalam hati. Teh menurut yang pernah saya baca, bermanfaat menurunkan lemak darah, mengurangi penyerapan lemak di saluran pencernaan, dan dapat membantu upaya seseorang menurunkan berat badannya.
Teman seperjalanan saya yang memang gemuk itu, seolah-olah tidak percaya dengan jawaban Asiong kembali berkomentar, “saya juga suka minum teh, setiap hari saya minum teh, bahkan setiap kali makan, teh selalu tersedia”.
Secara spontan, sebelum Asiong menjawab, saya berkomentar lebih dulu, “lain dek, kita di Indonesia kebiasaanya minum teh manis, bukan teh tawar seperti yang mereka lakukan”. Kalau tidak membeli air teh dalam kemasan botol, kaleng, kotak dan sebagainya, yang sangat manis, karena kadar gulanya sangat tinggi, menyeduh teh di rumah sendiripun boleh dipastikan dengan gula. Andaikan kita punya tamu, menghidangkan teh tawar mungkin dianggap sebagai hal yang tidak wajar. Makan tanpa teh manis dianggap belum lengkap. Bahkan bila makan di restoran, minimal kita pesan teh manis atau minuman juis buah yang sudah diberi gula.
Saya membayangkan, seandainya dalam satu gelas air teh manis yang kita minum mengandung 30 gram gula, dan kita minum teh manis tiga kali sehari, berapa kalori yang sudah kita konsumsi hanya dari gula saja? Apalagi kandungan gula dalam minuman teh manis kemasan dapat lebih besar lagi.
Berbeda dengan kebiasaan minum teh yang saya lihat di Shenzen ini. Mereka minum teh hangat yang baru diseduh, tanpa gula sama sekali. Tidak pernah saya lihat disediakan gula baik waktu makan pagi, siang, ataupun malam di restoran- restoran tempat kami makan, kecuali di hotel, memang disediakan gula dalam mangkok kecil, dengan sendok yang juga kecil, dan itu bukan di meja tempat kita makan, tapi tempat khusus untuk semua orang.
Dari kebiasaan minum teh tanpa gula saja, mereka sudah menghemat kalori yang masuk dalam tubuhnya. Belum lagi dari kebiasaan makan lain dan akitifitas fisik mereka. Dalam beberapa kali kesempatan makan di sana, hanya sekali saya melihat menu makanan yang mengandung daging merah, itupun dalam bentuk daging tetelan kecil tanpa lemak, disajika sebagai pelengkap sup.
Kebanyakan menu makanan yang disajikan adalah bermacam sayur yang diolah dalam berbagai bentuk, ikan dan dan daging bebek yang tidak pernah tertinggal dalam setiap hidangan. Nasi memang disediakan, tapi jumlahnya hanya sedikit. Selain nasi, sebagai bahan sumber karbohidrat utama lain, mereka menyajikan labu merah, ubi jalar dan lain-lain.
Menu makanan mereka menurut saya mendukung mengapa mereka jarang yang gemuk. Di samping itu, mangkok, piring yang digunakan juga berbeda dengan kebiasan kita. Ukurannya jauh lebih kecil, sehingga porsi makanan yang ditempatkan di dalamnya akan kelihatan lebih banyak. Ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perasaan kenyang kita. Ingat, bawah nafsu makan kita tidak hanya dipengaruhi perasan lapar atau tidaknya kita, aroma, lezatnya makanan, cara penyajian juga akan mempengaruhi. Bila piring kita besar, walaupun sebenarnya nasi yang di atasnya sudah cukup banyak, mata dan pikiran kita akan melihat dan mengangapnya masih sedikit, masih kurang, dan nasi itu pasti habis kita santap.
Kebiasaan berjalan kaki seperti apa yang diceritakan pemandu wisata itu, saya lihat memang betul. Taksi, bus yang banyak di jalan, terlihat jarang penumpangnya, tetapi di trotoar yang tertata sangat rapi, banyak orang berjalan kaki. Bahkan menurut pemandu wisata itu, ada beberapa eskalator yang menuju tempat perbelanjaan ditutup, karena pengunjung lebih suka memilih tangga yang didekat eskalator itu.
Berlawanan dengan kebiasaan kita di Indonesia, di samping kota-kota kita tidak mempunyai fasilitas berjalan kaki yang aman, nyaman, kita sekarang menjadi orang yang malas bergerak. Kita lebih suka menggunakan kendaraan bermotor, walaupun hanya untuk menuju jarak yang relatif dekat. Eskalator, lift yang ada di hotel, pusat perbelanjaan, perkantoran penuh sesak, sementara yang naik tangga, berjalan sangat jarang. Coba lihat di bandara, dari ratusan penumpang, yang berjalan kaki boleh dihitung dengan jari, sebagian besar penumpang akan menggunakan eskalator.
Di Shenzhen, kalau boleh dikatakan tidak ada orang gemuk, karena memang mereka memilih untuk tidak gemuk. Mereka memilih kebiasaan yang sehat, kebiasaan minum dan makan yang sehat. seperti minum teh tawar, banyak makan sayur dan buah.
Mereka juga aktif bergerak, bukan memanjakan kakinya. Seharusnya kebiasaan-kebiasaan kecil yang sederhana ini juga dapat kita lakukan. Sekarang, obesitas juga sudah mengancam kita, penyakit terkait obesitas ini merupakan pembunuh utama kita…, kenapa kita tidak memilih melakukan hal yang sama?
Teman satu grup perjalanan saya yang memang orangnya gemuk, entah merasa tersinggung, atau memang ingin tahu rahasianya, mungkin juga supaya bisa tidak gemuk, bertanya, “kok bisa ya? Apa sebabnya ?” Asiong, pemadu wisata yang sudah bermukim di Shenzen selama 15 tahun itu, menjawab, “orang di sini punya kebiasaan minum teh, jarang makan daging, banyak makan sayur, buah-buahan dan suka berjalan. Dan, orang gemuk sulit mendapatkan perkerjaan, satu lagi katanya, orang di sini takut sakit dan mati lebih awal, karena orang tuanya hanya punya satu anak, kalau dia meninggal siapa yang akan merawat mereka”.
“Benar juga jawaban Asiang ini, masuk akal”, komentar saya dalam hati. Teh menurut yang pernah saya baca, bermanfaat menurunkan lemak darah, mengurangi penyerapan lemak di saluran pencernaan, dan dapat membantu upaya seseorang menurunkan berat badannya.
Teman seperjalanan saya yang memang gemuk itu, seolah-olah tidak percaya dengan jawaban Asiong kembali berkomentar, “saya juga suka minum teh, setiap hari saya minum teh, bahkan setiap kali makan, teh selalu tersedia”.
Secara spontan, sebelum Asiong menjawab, saya berkomentar lebih dulu, “lain dek, kita di Indonesia kebiasaanya minum teh manis, bukan teh tawar seperti yang mereka lakukan”. Kalau tidak membeli air teh dalam kemasan botol, kaleng, kotak dan sebagainya, yang sangat manis, karena kadar gulanya sangat tinggi, menyeduh teh di rumah sendiripun boleh dipastikan dengan gula. Andaikan kita punya tamu, menghidangkan teh tawar mungkin dianggap sebagai hal yang tidak wajar. Makan tanpa teh manis dianggap belum lengkap. Bahkan bila makan di restoran, minimal kita pesan teh manis atau minuman juis buah yang sudah diberi gula.
Saya membayangkan, seandainya dalam satu gelas air teh manis yang kita minum mengandung 30 gram gula, dan kita minum teh manis tiga kali sehari, berapa kalori yang sudah kita konsumsi hanya dari gula saja? Apalagi kandungan gula dalam minuman teh manis kemasan dapat lebih besar lagi.
Berbeda dengan kebiasaan minum teh yang saya lihat di Shenzen ini. Mereka minum teh hangat yang baru diseduh, tanpa gula sama sekali. Tidak pernah saya lihat disediakan gula baik waktu makan pagi, siang, ataupun malam di restoran- restoran tempat kami makan, kecuali di hotel, memang disediakan gula dalam mangkok kecil, dengan sendok yang juga kecil, dan itu bukan di meja tempat kita makan, tapi tempat khusus untuk semua orang.
Dari kebiasaan minum teh tanpa gula saja, mereka sudah menghemat kalori yang masuk dalam tubuhnya. Belum lagi dari kebiasaan makan lain dan akitifitas fisik mereka. Dalam beberapa kali kesempatan makan di sana, hanya sekali saya melihat menu makanan yang mengandung daging merah, itupun dalam bentuk daging tetelan kecil tanpa lemak, disajika sebagai pelengkap sup.
Kebanyakan menu makanan yang disajikan adalah bermacam sayur yang diolah dalam berbagai bentuk, ikan dan dan daging bebek yang tidak pernah tertinggal dalam setiap hidangan. Nasi memang disediakan, tapi jumlahnya hanya sedikit. Selain nasi, sebagai bahan sumber karbohidrat utama lain, mereka menyajikan labu merah, ubi jalar dan lain-lain.
Menu makanan mereka menurut saya mendukung mengapa mereka jarang yang gemuk. Di samping itu, mangkok, piring yang digunakan juga berbeda dengan kebiasan kita. Ukurannya jauh lebih kecil, sehingga porsi makanan yang ditempatkan di dalamnya akan kelihatan lebih banyak. Ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perasaan kenyang kita. Ingat, bawah nafsu makan kita tidak hanya dipengaruhi perasan lapar atau tidaknya kita, aroma, lezatnya makanan, cara penyajian juga akan mempengaruhi. Bila piring kita besar, walaupun sebenarnya nasi yang di atasnya sudah cukup banyak, mata dan pikiran kita akan melihat dan mengangapnya masih sedikit, masih kurang, dan nasi itu pasti habis kita santap.
Kebiasaan berjalan kaki seperti apa yang diceritakan pemandu wisata itu, saya lihat memang betul. Taksi, bus yang banyak di jalan, terlihat jarang penumpangnya, tetapi di trotoar yang tertata sangat rapi, banyak orang berjalan kaki. Bahkan menurut pemandu wisata itu, ada beberapa eskalator yang menuju tempat perbelanjaan ditutup, karena pengunjung lebih suka memilih tangga yang didekat eskalator itu.
Berlawanan dengan kebiasaan kita di Indonesia, di samping kota-kota kita tidak mempunyai fasilitas berjalan kaki yang aman, nyaman, kita sekarang menjadi orang yang malas bergerak. Kita lebih suka menggunakan kendaraan bermotor, walaupun hanya untuk menuju jarak yang relatif dekat. Eskalator, lift yang ada di hotel, pusat perbelanjaan, perkantoran penuh sesak, sementara yang naik tangga, berjalan sangat jarang. Coba lihat di bandara, dari ratusan penumpang, yang berjalan kaki boleh dihitung dengan jari, sebagian besar penumpang akan menggunakan eskalator.
Di Shenzhen, kalau boleh dikatakan tidak ada orang gemuk, karena memang mereka memilih untuk tidak gemuk. Mereka memilih kebiasaan yang sehat, kebiasaan minum dan makan yang sehat. seperti minum teh tawar, banyak makan sayur dan buah.
Mereka juga aktif bergerak, bukan memanjakan kakinya. Seharusnya kebiasaan-kebiasaan kecil yang sederhana ini juga dapat kita lakukan. Sekarang, obesitas juga sudah mengancam kita, penyakit terkait obesitas ini merupakan pembunuh utama kita…, kenapa kita tidak memilih melakukan hal yang sama?