Burung nazar itu terluka. Dia murka. Dia mematuki siapa saja yang menurutnya telah membuatnya terluka, termasuk para burung nazar di koloninya. Seekor burung yang sedang bertengger di puncak pohon, disambarnya hingga roboh ke tanah. Ya, burung yang naas itu pun dipatuki sampai terbuka dada dan perutnya, hingga nampak jelas semua jerohannya.
Tak puas dengan satu korban, burung nazar pun menendang kawannya yang kurus hingga terjengkang. Si kurus mengaduh seraya mengumpat si nazar sebagai burung yang tak tahu adat. Tak cuma si kurus dan burung di pucuk pohon yang kesemuanya berkelamin jantan, nazar pun mencengkeram seekor nazar betina yang dulu kerap mencari makan bersamanya. Tak puas dengan korban-korban yang telah berjatuhan, si nazar itu pun mematuki pokok pohon rindang tempatnya bernaung hingga rontok daun-daunnya, sampai layu daun-daunnya.
Tentu saja, penguasa pohon itu yang tak lain adalah raja nazar tak tinggal diam. Dia marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin karena menyadari betapa selama ini penghuni pohon juga berlaku tak adil terhadap nazar yang sedang murka. Besok si raja akan mengumpulkan semua warga nazar. Dia tak hanya ingin menyelamatkan para nazar yang sudah terluka, tapi si raja juga ingin melindungi pohon tempat warganya bernaung.
Lantaran dia sedang murka, selanjutnya kita sebut saja dia si nazar murka. Ya, si murka kini bagai teroris bengis yang siap melukai penghuni sekaligus pohon tempat bernaung para nazar yang pernah menjadi koloninya. Dia datang bagai hantu, mematuki saat hari gelap, lantas pergi. Begitu berkali-kali.
Nazar murka memang telah lepas kendali dan mengabaikan kebiasaannya selama ini sebagai seekor burung nazar yang sangat jarang menyerang mangsa yang masih sehat. Selama ini ia menyerang mangsa lain yang sedang terluka atau kesakitan.
Dengan tembolok yang penuh persediaan makanan, si nazar murka leluasa terbang ke mana ia suka dan tak tergantung sama nazar bekas kawan-kawannya yang kini ia musuhi. Nazar murka yang telah belajar pengalaman dari para nazar pendahulunya, telah memiliki cara dan siasat untuk mencari tempat persembunyian yang aman. Persembunyian di seberang lautan, adalah tempat persembunyian paling aman. Begitulah yang diajarkan para nazar yang telah berkhianat terhadap kaumnya.
Nazar murka, dari tempat persembunyiannya senantiasa waspada. Matanya nyalang mengamati setiap gerakan kawan-kawannya di pohon itu, pohon yang dulu pernah dia besarkan dengan cara menghimpun bekal sebanyak-banyaknya untuk para penghuni pohon. Sekilas dia memang baik, karena dengan ketampanannya dia menjadi serupa pelindung dan pemberi makan semua penghuni pohon. Tapi di balik penampilannya yang flamboyan, dia biasa juga bertindak deksura dengan menghalalkan segala cara dalam mengumpulkan bekal, tak peduli tindakannya bakal menyengsarakan para penghuni hutan.
Ya, ya.. menurut pengakuan nazar murka, dirinya memang pantas marah. Kepada penghuni hutan lainnya di tempat persembunyiannya, nazar murka berkicau bahwa dirinya telah didzolimi justru oleh kaumnya sendiri.
Di tempat persembunyiannya, nazar murka kerap berlinangan air mata. Teringatlah dia akan kenangannya ketika semua nazar memuji-muji dia. Karena kehebatannya menghimpun bekal dan membagikannya untuk para nazar. Atas kemampuannya itulah, kaumnya pun menempatkan dia di tempat yang terhormat.
Kepada semua penghuni hutan persembunyian, nazar murka selalu bilang bahwa dirinya adalah korban rekayasa para nazar senior yang ingin tetap nampak bersih penampilannya. Makanan yang dia serahkan kepada para seniornya, setelah menjadi kotoran justru dilemparkan kepada muka nazar murka.
Nazar murka masih ingat awal kejadian yang membuatnya terusir pergi dari koloni nazar di pohon itu. Nazar ingat, itu terjadi di hari Senin siang. Dia menemui para seniornya di sebuah pohon rindang yang dihuni oleh bermacam-macam burung. Lepas senja, nazar murka pun diminta untuk terbang ke seberang lautan lantaran koloni burung-burung lain sudah mencium kejahatan yang dilakukannya bersama para nazar lain sekoloninya. Malamnya, dari tempat persembunyiannya Nazar mendengar, dirinya telah disebratkan dari koloninya sendiri dan tidak berhak lagi mendiami dahan terhormat yang dulu menjadi tempatnya bertengger.
Semenjak itulah, si nazar murka jadi bulan-bulanan kaumnya dan seluruh penghuni hutan. Nazar dituding telah rakus memangsa buruan. Atas tuduhan ini, Nazar murka pun menjawab, betapa selama ini dirinya hanya jadi pesuruh bagi para nazar senior. Semua yang dia kerjakan adalah semata-mata untuk kemulyaan senior-seniornya dan juga pohon yang dihuni oleh semua nazar di pohon itu.
Tapi apa balasannya? Setelah praktik yang dia lakukan bersama seniornya itu tercium oleh penghuni hutan lainnya, para seniornya justru mengorbankan dirinya dan memintanya pergi jauh-jauh dari pohon tempatnya bernaung. Tentu saja, nazar murka berang tak kepalang. Dia pun mematuki mereka yang telah melukai dirinya.
Kini nazar murka tak tenang hidupnya. Meski bekal di temboloknya telah penuh, kendati tempat persembunyiannya telah aman dan nyaman, tapi dia tahu, suatu waktu dia bisa juga menjadi mangsa bagi nazar lainnya.