Terdapat berbagai tipe layang-layang layang-layang permainan. Yang paling umum adalah layang-layang hias dan layang-layang aduan (laga). Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan (koang) yang dapat mengeluarkan suara karena hembusan angin. Layang-layang laga biasa dimainkan oleh anak-anak pada masa pancaroba karena biasanya kuatnya angin berhembus pada masa itu.

Sejarah dan Asal Usul Layang-Layang
Catatan pertama yang menyebutkan permainan layang-layang adalah dokumen dari China sekitar 2500 SM. Diperkirakan dari China, layang-layang mulai disebarluaskan ke negara Asia lain seperti Korea, Jepang, Indonesia dan India. Bahkan, permainan layang-layang menyebar ke Barat hingga kemudian populer di Eropa.
Di Asia, layang-layang kerap kali berkaitan dengan upacara keagamaan atau kepentingan agama. Banyak layang-layang dari RRC dibuat berwujud naga dari cerita rakyat. Bentuk tradisional lainnya seperti burung, kupu-kupu, bahkan kelabang. Di Malaysia, menerbangkan layang-layang di atas rumah pada malam hari dipercaya dapat menjauhkan roh jahat. Di Korea, nama bayi yang baru lahir sering dituliskan pada layang-layang, lalu diterbangkan dan dibiarkan terlepas sendiri. Sementara di Jepang menerbangkan layang-layang merupakan kegiatan sosial. Para penduduk desa bersama-sama membangun sebuah layang-layang yang sangat besar. Layang-layang ini berukuran 120 yard persegi, dan dapat diterbangkan hanya pada acara festival saja karena dibutuhkan seluruh penduduk kampung tersebut untuk menaikkannya.

Sementara di sejumlah daerah di Indonesia, fungsi layang-layang berbeda-beda. Di beberapa daerah, layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu, biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian. Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu dan diikat dengan serat rotan. Layang-layang semacam ini masih dapat dijumpai di Sulawesi. Diduga pula, beberapa bentuk layang-layang tradisional Bali berkembang dari layang-layang daun karena bentuk ovalnya yang menyerupai daun. Selain itu, beberapa daerah di Bali, sama seperti Jepang, juga menerbangkan layang-layang sebagai kegiatan sosial. Para penduduk desa bersama-sama membangun sebuah layang-layang yang sangat besar dan menerbangkannya beramai-ramai.

Penemuan sebuah lukisan gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, pada awal abad ke-21 yang memberikan kesan orang bermain layang-layang menimbulkan spekulasi mengenai tradisi yang berumur lebih dari itu di kawasan Nusantara. Diduga terjadi perkembangan yang saling bebas antara tradisi di China dan di Nusantara karena di Nusantara banyak ditemukan bentuk-bentuk primitif layang-layang yang terbuat dari daun-daunan. Di kawasan Nusantara sendiri catatan pertama mengenai layang-layang adalah dari Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) (abad ke-17) yang menceritakan suatu festival layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan.
Museum Layang-Layang di Indonesia
Di Indonesia sendiri telah berdiri Museum Layang-layang Indonesia yang dibuka sejak 21 Maret 2003 lalu. Ada sekitar 350 layang-layang koleksi dari sejumlah negara di dunia, termasuk layang-layang khas daerah Indonesia. Adalah, Endang W Puspoyo yang memprakarsai hadirnya museum ini. Ia yang juga dikenal sebagai ahli kecantikan ini menghibahkan sebidang tanahnya untuk para pencinta layang-layang.

Layang-Layang Sebagai Energi Alternatif di Masa Depan
Ternyata layang-layang tak melulu hanya dijadikan sebagai alat permainan. Beberapa ahli mulai melirik layang-layang sebagai energi alternatif di masa depan. "Ini lebih sederhana dari turbin angin yang membutuhkan begitu banyak materi," jelas pakar energi Moritz Diehl dari Catholic University di Leuven, Belgia. "Dengan menghemat materi, artinya lebih ekonomis". Biaya yang diperlukan membuat pembangkit listrik dari layang-layang hanya seperempat dari kincir angin.

Dengan terus menerus memompa sebuah layang-layang, Diehl dan kawan-kawannya berhasil menghasilkan listrik sebesar 5 megawat dari layang-layang seluas 500 meter persegi dengan panjang tali 1,3 kilometer. Selain hemat biaya, menurut Dhiel, layang-layang bisa menjangkau ketinggian lebih tinggi daripada kincir angin. Makin tinggi lokasinya, makin besar pula tekanan anginnya dan makin besar energi yang dihasilkan.
Sementara itu tim ilmuwan dari Delft University of Technology di Belanda juga menciptakan ide serupa. Hanya mereka menerbangkan sejumlah besar layang-layang sekaligus dalam satu jalur seluas 10 kilometer di angkasa. Sistem ini sama kinerjanya dengan roda air. Sistem yang dinamakan Laddermill ini mampu menghasilkan listrik sebesar 100 megawat.
Semua ide tersebut memang cukup cemerlang, hanya tak semudah itu untuk mengomersilkannya. Masih ada beberapa kelemahan, seperti layang-layang bersifat tidak stabil. "Layang-layangnya kelamaan akan berukuran tambah besar dan banyak, dan bisa menelurkan masalah kebutuhan materi dan daya tahan," komentar Bernhard Hoffschmidt dari Solar-Institute Jülich di Aachen University in Germany.
Layang-Layang Terbesar di Dunia